Minggu, 18 Januari 2015

Sisi Lain dari Perjalanan Spiritual Umroh

Alhamdulillah pada 22 Desember 2014 lalu, saya berkesempatan lagi, kali ini berdua bersama suami, untuk mengunjungi tanah suci yang selalu dirindukan umat Muslim. Beda halnya dengan tempat wisata yang tidak selalu meninggalkan kesan baik atau memberi kepuasan bagi yang pernah mengunjunginya, maka tanah suci Mekkah dan Madinah ini akan selalu membuat rindu siapapun yang pernah mendatanginya. Meskipun pengalaman tidak menyenangkan juga sering dialami di tempat ini, namun ruh dan perasaan yang berbeda ketika berada di sini yang mungkin membuat kita suatu saat setelah kembali dari sana akan menginginkan kesempatan untuk mendatanginya lagi.

Mengenai proses, tips, dan catatan perjalanan, mungkin sudah banyak teman blogger yang telah membagi pengalamannya dengan sangat informatif dan menarik. Dan saya agak kesulitan kalau harus membuat narasi catatan perjalanan karena sering lupa detailnya :)

Di blog ini saya sekedar ingin menuliskan kesan, sharing beberapa hal, dan mungkin "uneg-uneg" yang bisa dituangkan di sini. Mungkin agak berkesan negatif, tapi saya tidak bermaksud menjudge karena yang negatif itu bisa jadi prasangka atau subyektifitas saya menilai sesuatu. Dan saya rasa blog ini adalah wadah yang paling pas untuk mencatat itu semua.

1. Cara Berpakaian
Dengan aturan syariah yang diterapkan di kota suci, Alhamdulillah sebagian jamaah memang menjadi terbiasa dengan hal-hal yang tidak biasa. Salah satunya dalam hal menutup aurat. Ada yang sehari-hari tidak berjilbab, menjadi berjilbab, atau yang sudah berjilbab ala kadarnya, di sana mengenakan jilbab yang lebih panjang dan tertutup serta baju model abaya. Tetapi jamaah Indonesia yang saya amati sering berpakaian kurang pantas di masjid, misalnya karena di Arab tidak umum mengenakan mukena ketika sholat (karena baju dan jilbab sudah memenuhi syarat menutup aurat), maka banyak yang mengenakan baju sekenanya untuk sholat di masjid. Bahkan ada yang memakai seperti baju tidur atau daster dan jilbab serta kaos kaki. Kalau begini, apa gak mendingan memakai mukena saja? kalau pakai daster berarti kan justru penurunan dibanding pakaian sholat yang dipakai di tanah air.

Selain itu, beda dengan orang Arab atau Timur Tengah yang memakai abaya hitam tanpa banyak model, baju orang Indonesia memang lebih fashionable, colorful, dan menarik. Dalam batas tertentu memang gak ada salahnya, bahkan memberikan image yang rapi dan bersih pada pemakainya. Tapi banyak juga yang berlebihan dalam hal model seperti renda-renda, rumbai2, blink2, dan warna yang terlalu mencolok. Lebih seperti mau fashion show daripada ke masjid. Ditambah lagi dengan dandanan yang aduhai, bukan menundukkan pandangan laki-laki tapi malah memancingnya.

2. Menjaga Kebersihan
Seharusnya tempat suci lebih kita jaga kesuciannya, dan awal dari kesucian adalah kebersihan. Tapi kenapa ya banyak yang masih suka membuang sampah seenaknya, tidak menjaga kebersihan toilet, kebersihan hotel, bahkan kebersihan masjid, misalnya dengan meninggalkan gelas bekas air di tempat sholat begitu saja. Meskipun ada petugas kebersihan, bukankah jamaah juga harus perduli dengan kebersihan masjid? Bahkan di area minum air zam-zam lantai menjadi basah dan becek karena banyak yang menumpahkan air.

Satu hal lagi yang konyol, ada saja tangan jahil yang mau mencoret-coret area masjid atau tempat ziarah dengan menuliskan nama. Entah apa maksudnya, tapi dari yang pernah saya dengar untuk mendoakan nama orang yang ditulis tersebut. Kalau begitu bukan hanya mengotori tapi sudah cenderung praktik khurafat, dan ini di tanah suci!

3. Ketertiban dan Kesabaran
Sejak sebelum berangkat, satu hal yang selalu diingatkan adalah kesabaran, karena ibadah ini juga merupakan ibadah yang menguji kesabaran. Tidak heran kalau ini yang selalu diingatkan karena memang setelah mengalami di sana kita harus menggunakan stok kesabaran sebanyak mungkin. Tidak ada senjata yang lebih ampuh selain semangat dan kesabaran agar ibadah kita khusuk. Dan ini tidak semuah mengucapkannya, pasti selalu ada saja ujian kesabaran yang kita mungkin tidak bisa lewati. Terutama hal-hal kecil yang sering tidak disadari.

Ujian sabar itu sudah terjadi mulai dari berangkat ketika masih di tanah air, mungkin kita sudah bertemu dengan teman satu rombongan yang "tidak cocok" tapi harus bersabar dan menyadari bahwa setiap orang berbeda. Ujian di perjalanan juga ada mulai dari masalah transportasi sampai pengaturan oleh travel agent. Lalu banyak lagi masalah di hotel atau pemondokan yang tidak sesuai harapan, mungkin yang paling terasa antrian di lift dan makanan. Kemudian prosesi ibadah, yang mengharuskan kita tertib dan tidak mengganggu orang lain. Namun untuk urusan ini, karena mungkin ingin mencari pahala sebanyak-banyaknya, banyak yang mengabaikan kesabaran dan kepentingan orang lain. Wallahualam nilai ibadah kalau sudah tercemari dengan tindakan yang "menzalimi" orang lain. Dan ini bukan hanya jamaah Indonesia tapi juga ditunjukkan oleh perilaku jamaah negara lain.

4. Praktik yang Jauh dari Tuntunan

Sering juga kita lihat, bahwa tempat ibadah atau ziarah itu dimaknai dari fisiknya, bukan sejarahnya. Seperti Ka'bah yang sering diusap-usap ke wajah entah untuk mengharap apa, atau menempel ka'bah sambil menangis terisak-isak lamaa sekali sampai harus diusir askar, saya khawatir jadi seperti di tembok ratapan Yahudi, maaf kalau memakai istilah ekstrim tapi memang pemandangannya terlihat ekstrim. Ada juga yang berdoa di makam baik makam Rasul dan sahabat dan sering diingatkan askar untuk segera pindah. Belum lagi yang mengambil sesuatu dari tempat ziarah untuk disimpan sebagai jimat, atau meninggalkan sesuatu titipan orang lain agar bisa datang ke tempat tersebut. Astagfirullah, semoga ibadah ini bisa menjauhkan kita dari kesyirikan. Di tempat ziarah ini biasanya dipasangi papan peringatan untuk mencegak praktik syirik

Papan Peringatan di jabal Uhud

Banyak lagi hal-hal ironis yang mewarnai niat lurus untuk beribadah di tanah suci ini. Kita hanya bisa bercermin dan banyak instrospeksi diri, termasuk saya sendiri, tentang bagaimana nilai ibadah kita, bukan hanya dari kuantitas tapi juga kualitasnya.

Inshaallah bila ada kesempatan akan saya tuliskan lagi sharing tentang keutamaan ibadah haji dan umroh yang ditulis di buletin Masjidil Haram.


Minggu, 23 Juni 2013

Pegunungan Ijen

Mendaki Ijen tak lengkap kalau tidak menikmati alam pedesaan dan perkebunan yang ada di lerengnya. Dengan udara yang dingin, beberapa komoditas perkebunan tumbuh subur di dalamnya. Kopi adalah komoditas unggulan yang dikuasai oleh PTPN XII. Kopi Luwak kualitas ekspor juga ada yang dihasilkan dari sini.

Tapi bukan hanya itu, kawasan lereng ini juga menghasilkan komoditas tanaman yang lain. Sebut saja makadamia yang menjadi favorite orang Australia dan Eropa, mungkin jarang kita jumpai di toko-toko di Indonesia, ternyata dihasilkan di desa Watu Capil. Sayuran khas hawa dingin seperti brokoli, paprika, asparagus, wortel dan sejenisnya tumbuh subur di desa Jampit dan Sempol, bahkan banyak menjadi pengisi pekarangan rumah penduduk. Turis luar yang kebanyakan dari Prancis dan Belanda hampir selalu mengikuti agrowisata di perkebunan kopi  sebagai bagian dari paket pendakian ke gunung Ijen.

Turun dari kawah Ijen, kami mampir ke air terjun yang tak jauh dari Paltuding. Air di sini bukan air biasa. Bila dilihat warnanya hijau kristal, bila kita celupkan akan terasa agak perih di kulit. Ya, ini karena kandungan belerang yang sangat tinggi dalam air itu. Beberapa orang terlihat mengambil air sungai itu dan menempatkannya dalam botol bekas air mineral. Katanya air ini bisa menghilangkan ketombe dan mengobati jerawat.

sungai air belerang
Lalu kami lanjutkan ke desa sempol menuju pemandian air panas. Air panas alami ini juga konon memiliki kandungan belerang dan berkhasiat menyembuhkan rematik. Bisa jadi ini merupakan mitos atau sugesti, tapi juga bisa jadi sangat benar karena bisa dijelaskan secara ilmiah, hanya saja kurang riset.

Perjalanan ke air panas ini harus melewati jalan pedesaan yang cukup menantang. Jalan berbatu dan cukup curam, perlu keahlian sendiri dalam mengemudikan mobil. Tapi dalam perjalanan ini kami juga disuguhi pemandangan yang sangat indah. Rumah penduduk dengan halaman asri, sungai dengan taman di tepinnya, dan pabrik pengolahan kopi arabika.

Pabrik Kopi PTPN XII


The Village
Setelah puas berendam air panas, kami lanjutkan kembali perjalanan. Sebetulnya di rute yang sama, bila kami lanjutkan akan ada air terjun dan gua kapur yang konon sangat indah. Tapi karena takut kemalaman pulang ke rumah, akhirnya kami sepakat tidak ke sana.

Dalam perjalanan pulang kami melewati desa Jampit. Saya terpesona melihat rumah-rumah penduduk yang terlihat tenang, asri, dan begitu hijau dengan tanaman yang jarang kita lihat. Tanaman sayuran seperti wortel, kubis, buncis dan bunga seperti hebras, lily, gladiol yang tertata rapi membuatnya sangat menawan. Jadi membayangkan punya halaman seperti ini di rumahku d Jakarta. Tapi rasanya gak mungkin, selain luas tanah yang sangat terbatas, suhu udara d Jakarta juga tidak memungkinkan menanam tanaman jenis ini.

pretty lawn
Jadi kalau berkesempatan mendaki Ijen, jangan lupa untuk mengunjungi atau sekedar melihat-lihat desa-desa di lerengnya. Oh iya, kalau nonton film "King" yang diproduksi Alenia, itu lokasi shootingnya di kawasan ini. Luar biasa kaan.

Selasa, 14 Mei 2013

Trip to Ijen

Jawa Timur daerah asalku tercinta memang menawarkan sejuta pesona terutama pemandangan pantai dan gunungnya. Pada edisi liburan pulang kampung akhir bulan Maret lalu, aku dan keluarga kakak, tentu dengan keponakan krucils, sudah merencanakan untuk mendaki gunung Ijen.

Buat aku, mbak dan mas iparku, mendaki Ijen bukan kali pertama. Kami sudah pernah ke sana sekitar 10 tahun lalu alias jaman jebot, waktu kawah Ijen belum sepopuler sekarang. Kondisi waktu itu masih memprihatinkan…#lebay ah. Saat itu medan ke Ijen sangat menantang karena jalanan untuk mobil yang rusak parah, mulai dari Wanasari-Sempol,sampai Paltuding. Dulu ke sana dengan mbakku dan teman2  bawa mobil ayah yang mungil dan bener-bener gak cocok buat medan offroad kayak gitu, terus pamitnya bukan pergi ke Ijen lagi. Jadi merasa bersalah kalau inget itu. 
Tapi jaman sudah berubah. Alhamdulillah pemerintah dan mungkin didukung PTPN XII punya kesadaran untuk mengambangkan kawasan Ijen yang potensial untuk wisata, berdasar keterangan dari ayahku yang belum lama pergi ke sana, jalan akses ke Ijen sudah baik. Big Smile :)

Dari rumahku di Jember ke Ijen yang masuk wilayah Bondowoso-Banyuwangi, perjalanan dengan mobil bisa ditempuh sekitar 2 jam sampai titik pendakian Paltuding. Jalur yang diambil dari arah Jember biasanya lewat Bondowoso-Wonosari-Sempol-Paltuding. Papan petunjuk sekarang sudah lengkap, untuk yang baru ke sini pun tidak ada kesulitan. Selepas desa Wonosari kita akan menemui jalanan yang berbelok-belok naik-turun dan cukup sempit karena memang sudah masuk area pegunungan. Tapi syukurlah, sudah halus mulus jauh berbeda dengan dulu, meskipun ada lobang hanya di beberapa titik saja. Di sini kita sudah merasakan udara dingin apalagi bila perjalanan di malam hari.

Peta Kawasan Pegunungan Ijen 

Sekitar jam 8 malam kami baru memasuki wilayah desa Sempol. Setelah melewati medan antah-berantah, rasanya surprise menemukan desa yang cukup padat penduduk di areal yang dikelilingi perkebunan kopi milik PTPN XII ini. Kebanyakan warga desa di sini adalah pegawai perkebunan, rumah-rumah yang kami lalui adalah rumah dinas atau afdeling para pekerja perkebunan. Suasana desa yang tenang, rapi, dan asri sangat terlihat sini. Semua halaman rumah ditanami bunga dan sayuran yang hanya bisa tumbuh di daerah tinggi dan dingin seperti di sini. Sayangnya saat itu sudah malam sehingga gak bisa berfoto2. Foto yang ada di sini aku ambil saat kembali dari Ijen di waktu siang esoknya. Kami berhenti di sebuah masjid yang cukup besar untuk menunaikan sholat magrib dan isyak. Jangan kaget kalau pas wudlu rasanya seperti disiram air es, freezing. Namanya juga di kaki gunung.

Polsek Sempol

Usai sholat dan istirahat sejenak, kami lanjutkan perjalanan ke Paltuding yang sudah gak jauh lagi. Ternyata untuk masuk kawasan ini, kita harus mampir ke 3 pos jaga. Di setiap pos jaga kita harus mengisi buku tamu dan biasanya sih menaruh "uang rokok" untuk penjaganya, tapi tidak ditentukan nilainya...seikhlasnya.

Start pendakian di Paltuding
Sampai di Paltuding sudah hampir jam 10 malah, ternyata di sana sudah ada beberapa mobil yang tiba sebelum kami. Mereka sedang asik ngopi-ngopi dan makan di warung yang kelihatannya buka 24 jam, gak kalah sama indomaret. Di sinilah kami harus memarkir mobil dan memulai aktivitas pendakian. Biasanya orang-orang mendaki mulai jam 2 dini hari, untuk mengejar sunrise (meskipun sunrise tidak terlihat dari kawah) dan terutama menghindari asap belerang beracun yang biasanya muncul jam mulai 8-9 pagi. Aku dan keluarga-pun beristirahat dulu, tidur dalam mobil menunggu waktunya mendaki.

Terbangun jam 2 dini hari, kami tidak langsung melakukan pendakian, karena beberapa orang minta isi bahan bakar dulu alias makan. Rombonganku memang special karena membawa ponakan yg masih berusia 12 dan 9 tahun Rafli dan Abi, sepertinya peserta pendaki paling kecil saat itu. Karena itulah kami perlu persiapan extra terutama untuk menjaga kondisi si kecil. Selesai makan barulah kami mulai hiking bersama rombongan-rombongan lain yang cukup banyak juga. Jumlah yang banyak ini cukup memudahkan kami untuk menempuh jalur pendakian yang gelap dan menghilangkan rasa tegang. Dan kekhawatiran kami takut keponakan kecilku  tidak kuat mendaki ternyata salah! Entah karena semangat atau memang stamina, atau umur yang masih sangat muda mereka justru selalu berjalan di depan, sementara 2 peserta perempuan (aku dan kakakku) ternyata menjadi peserta yang paling banyak minta berhenti karena ngos-ngosan. Salut banget sama Rafli dan Abi, 2 thumbs up!

makan di tepi kawah
Pendakian kami tempuh selama sekitar 1 setengah jam. Akhirnya sampailah di tepi kawah Ijen sebelum jam 4 pagi. Karena matahari belum nampak, gelap dan dingin melanda serta kaki yang sudah gempor, tidak ada pilihan lebih baik daripada tidur. Akhirnya kami gelar jas hujan sebagai alas tidur ramai-ramai. Saat terbangun, semburat fajar sudah Nampak walaupun samar karena posisi arah timur terhalang gunung Licin. Sementara kawah Ijen dengan warna toska diselimuti asap belerang tipis dan pantulan cahaya keemasan membentang luas di depan mata kami yang masih berat untuk dibuka. Sungguh keindahan alam yang menyejukkan hati. Sayangnya kami tidak bisa menangkap foto blue fire dengan jelas karena ada di kejauhan di bawah sana dan terselimuti asap.

The Ijen Crater 
Walau udara dingin masih begitu menusuk, tapi tak sabar kami ingin segera mengabadikan momen2 itu dengan kamera. Tapi ingat itu sudah waktunya sholat subuh, akhirnya dengan bertayamum kami laksankan subuh dulu di atas batuan cadas di bibir kawah Ijen.

the hikers
Kalau saya lihat, hampir 50% pengunjung di sini adalah orang luar, ada bule, Chinese, Jepang, dan entah dari mana, yang jelas tidak berbahasa Indonesia. Ini berarti kawasan Ijen cukup terkenal bukan hanya di domestic. Bahkan kabarnya banyak Ilmuwan yang datang khusus untuk meneliti kawah Ijen yang juga menjadi sumber penghidupan warga para penambang belerang ini. Kalau say abaca artikel-artikel yang di tulis orang luar, mereka lebih banyak menyoroti tentang fakta ilmiah kawah dan kehidupan para penambang yang fenomenal.


Tentang kawah Ijen, kawah ini merupakan puncak gunung Ijen yang berada di ketinggian 2386 mdpl. Menurut satu sumber merupakan kawah terasam di Dunia dengan ph 0.5 dan kawah terbesar di pulau Jawa dengan luas sekitar 5.466 hektar yang berbentuk elips. Kedalaman danau sekitar 200 m dan volume sekitar 36.000.000 m kubik air asam beruap. Keunikan dan keistimewaan Ijen yang tidak dimiliki gunung-gunung lain ini memang pantas membuat kawasan Ijen manjadi popular dan semakin ramai dikunjungi.

Berlatar gunung Raung
Setelah puas berfoto dan menikmati view kawah, kami berkemas untuk turun kembali. Asap belerang juga sudah mulai berhembus dan akan jadi berbahaya bila semakin siang karena akan menebal dan sangat mengganggu pernafasan. Kalau saat naik kaki yang terasa pegal, saat turun lutut yang terasa karena kita harus menahan badan agar tidak terpeleset. Tetapi melewati hutan rindang dan pepohonan rimbun, dilengkapi background gunung raung di kejauhan membuat perjalanan turun ini menjadi menyenangkan. Kami bertemu para penambang belerang yang saat itu sedang libur menambang karena ada larangan yang disebabkan bahaya asap. Sementara tidak menambang, mereka mengandalkan penghasilan alternative dari penjualan pernak-pernik belerang yang dibentuk menjadi patung mini lucu. Kami beli beberapa sekedar buat menyenangkan para pedagang itu.

try the challenge?
Akhirnya sampailah di kaki Ijen, dengan perut lapar kami buka perbekalan yang sudah disiapkan. Alhamdulillah. Memang Allah mencipatakan segala sesuatu dengan tujuan. Gunung yang berdiri tegak ini telah memberi penghidupan bagi ribuan orang yang ada di bawahnya. Perjalanan kami tidak berakhir di sini, kami masih lanjut ke Sempol, salah satu desa di kaki Ijen. Ceritanya saya tulis lagi kalau sempat.


Minggu, 12 Mei 2013

International Batik Center Pekalongan

Kalau sering mudik lewat pantura, pasti tahu dong kota Pekalongan. Dari arah Jakarta, Pekalongan berada setelah kota Pemalang dan sebelum kota Batang. Pekalongan memang sangat terkenal dengan batiknya. Katanya hampir semua rumah di sana berkecimpung dalam hal2 yang berhubungan dengan batik, entah sebagai pedagang, produsen, pembatik, desainer, atau sekedar mempelajari. Dan semua orang di Pekalongan pasti paham tentang tipe batik dan bisa membedakan karakter batiknya. Karena inilah mungkin di kota ini berdiri sebuah pusat perbelanjaan batik terbesar yang dinamakan International Batik Center (IBC).

Pada kesempatan pulang kampung beberapa bulan lalu, dalam perjalanan kembali ke Jakarta aku sempatkan mampir karena ingin tahu. Hal-hal yang berhubungan dengan batik memang selalu menarik perhatianku.

Lokasi IBC cukup strategis, tepat berada di pinggir jalur Pantura, tepatnya masuk wilayah kecamatan Wiradesa. menempati lahan seluas 4 hektar dengan area parkir cukup luas, kita disambut gapura besar dengan simbol canting raksasa, sangat berciri khas batik dan sangat unik.


Gerbang dengan simbol canting (gambar dari fashionpro magazine)


Tempat ini menawarkan berbagai koleksi batik dari berbagai daeah di Pekalongan, dan juga dari kota sekitarnya, tetapi bila dilihat dari ciri khas batiknya yang berwarna-warni cerah dan motif beragam, sangat kental dengan karakter Pekalongannya. Range harga yang ditawarkan juga sangat beragam, mulai blus dengan harga ratusan ribu sampai di bawah seratus ribu. Motif dan warna serta bahan yang tidak biasa kita jumpai di pasaran juga saya lihat di sini. Tapi harganya lumayan juga. 

Kalau di Jakarta kita punya Pusat batik nusantara di Thamrin City, sebetulnya koleksi dan harga yang ada di sana tidak terlalu beda dengan IBC. Tetapi memang belanja di IBC terasa berbeda aja,
mungkin karena langsung di tempat asalnya ya, apalagi dengan tempat yang asri dan sangat berciri khas Jawa. Kalau pintar-pintar milih dan nawar, kita juga bisa dapat baju batik bagus dengan harga cukup murah, yang agak jarang ditemui di Jakarta.

Halaman depan IBC

Pengembangan pusat budaya seperti ini harus dilestarikan dan didukung. Meskipun menjadi tantangan tersendiri bagi pemerintah kota dan para pengusaha serta pedagang batik karena lokasinya bukan berada di pusat kota besar seperti di Jakarta, semoga tetap bisa menjadi harapan agar batik asli buatan pengrajin Indonesia tetap jaya.

Mobil operasional IBC bermotif batik


Sabtu, 11 Mei 2013

Taman Buah Mekarsari



Liburan yang hanya sehari, karena tidak bisa memperpanjang dengan cuti di harpitnas Jumatnya, kami manfaatkan untuk jalan-jalan ke taman buah Mekarsari, yang tidak trlalu jauh dari rumah. Kebetulan juga sedang ada ayahku yang dating nengok anaknya di Jakarta ini.

Perjalanan ke Mekarsari Cileungsi dapat ditempuh melalui rute, dari rumah ke pintu tol JORR – Ampera selama 10 menit, dari Ampera sampai keluar tol Cibubur kurang dari 30 menit karena cukup lancar. Tapi dari keluar pintu tol memasuki jalan alternative Cibubur ini lain cerita, jalur yang memang terkenal padat ini ternyata masih padat juga di hari libur. Saya rasa factor utama memang karena banyaknya volume kendaraan akibat semakin banyak pula perumahan di sekeliling kawasan tersebut, tanpa ada alternative jalan lain. Di samping itu, begitu banyak putaran balik yang dijaga pak ogah juga turut memperparah kemacetan dan kesemrawutan. Mulai keluar tol sampai masuk taman buah Mekarsari harus kami tempuh hampir 1 jam.

Peta kawasan Taman Buah Mekarsari

Tiket masuk Mekarsari di hari biasa sebesar Rp 15.000/orang hari biasa dan Rp 20.000/orang hari libur, plus Rp 10.000 untuk parker roda 4. Ini untuk masuk ke area saja, sementara kalau mau keliling kebun buah harus naik kereta kelinci dan bayar lagi Rp 10.000/orang. Ya namanya ke kebun buah, pasti semua orang pingin keliling lihat2 kebuh buahnya kan…heheh.

Kereta kelinci dan Badut Buah
Naik kereta kelinci cukup mengasikkan, kita bisa santai sambil melihat pohon-pohon buah di perbunan tersebut sambil dipandu guide merangkap sopir. Jadi untuk menjadi sopir kereta kelinci ini gak sekedar harus bisa nyetir, tapi juga harus ngerti masalah pertanian, hapal nama-nama pohon plus bahasa latinnya, dan bisa berkomunikasi.

Di area Mediteranian Exotic kami bisa melihat pohon buah yang sebelumnya belum pernah melihat seperti Menteng, Sawo kecik, Dewandaru, dll. Di area melon kami juga melihat pohon melon tumbuh menggantung di dalam green house. Mas guide nya juga menjelaskan bahwa melona dalah tanaman semusim, artinya setelah berbuah, dipanen, langsung mati atau tidak dapat berproduksi lagi. Serupa dengan pohon semangka dan pisang. Saat itu sedang musim panen jeruk, tapi kami tidak ke kebun jeruk karena memang tidak membeli tiket untuk paket panen buah.

Pohon Dewandaru
Pohon Sawo Kecik
Setelah mengelilingi kebun, yang tidak sampai ke ujungnya (kecuali membeli tiket khusus paket panen buah) kereta kelinci menurunkan kami di area danau. Di sini kita bisa menikmati keindahan danau dan udara segar di bawah pohon rindang. Nampak ada panggung dan tenda di kebun kelapa di tepi danau yang ternyata memang disewa untuk acara group. Kami hanya berjalan melintasi jembatan gantung  bercat kuning menuju pulau kecil di tengah danau, yang nampaknya adalah pulau buatan.

Danau dan waterboom di seberang 
Dari danau kami kembali menaiki kereta kelinci yang sudah menanti untuk kembali area entrance. Sampai entrance kami sempatkan makan siang di kantin mekarsari karena memang sudah jam nya makan siang, kemudian kami mampir ke took buah. Buah yang dijual di sini lumayan bagus, segar, dan cukup murah. Saya membeli belimbing, jeruk bali, salak, timun suri, jambu merah dan sirup pala. Saat melewati fruit center tempat penjualan aneka bibit pohon buah, kami mampir sebentar untuk melihat-lihat. Ternyata ayahku yang memang hobi tanam-menanam tertarik untuk membeli pohon jambu ball untuk ditanam di pekarangan depan rumah di kampung. Dengan hanya Rp 25 ribu kami bisa membawa pulang bibit jambu bol dengan tinggi sekitar 1 meter itu.

Akhirnya kami pulang dengan menenteng belanjaan buah dan bibit jambu bol. Meskipun harus menempuh kemacetan Cibubur, kami merasa senang mendapat pengalaman baru di mekarsari.

Kamis, 09 Mei 2013

Ngaben di Sangeh

Dalam perjalanan pulang dari Sangeh, taman wisata yang berisi monyet liar tapi jinak di daerah Sangeh, antara Denpasar dan Bedugul, kebetulan kami menjumpai salah satu momen yang sebelumnya belum pernah kami lihat. Sebetulnya acara ini cukup populer dan hanya ada di Bali, yaitu prosesi kremasi mayat atau ngaben.

Awalnya kami melihat sekumpulan orang di sebuah tanah lapang desa, dan sebuah kereta hias di dekatnya. Semula kami mengira itu hanya acara adat semacam ibadah. Tetapi tak jauh dari kumpulan itu kami melihat ada api unggun yang menyala cukup besar. Kami langsung mengira itu prosesi ngaben. Penasaran, kakak iparku yang saat itu menyetir langsung meminggirkan mobil. Hanya kakak ipar, suamiku, dan keponakanku alias para laki-laki yang berani turun. Sementara kami cewek2 hanya melihat dari dalam mobil. Bahkan keponakanku berani melihat dari dekat sambil memegang kamera.

keluarga/orang dekat berkumpul di depan pembakaran

Kalau dulu mungkin kita sering lihat dari TV, proses ngaben itu menggunakan banyak kayu bakar dan membutuhkan waktu yang sangat lama, tetapi yang aku lihat di sini sudah berbeda. Tidak nampak tumpukan kayu bakar menggunung, karena sudah diganti bahan bakar gas, kami melihat ada tabung gas besar seperti pompa di tempat pengisian angin atau tambal ban. Dengan cara ini mestinya proses pembakaran bisa dilakukan lebih cepat. Menurut suamiku yang turun ke situ, dari kejauhanpun dia sudah merasakan hawa panas dari apinya. Wah, gak kebayang kalo di dekatnya. Tapi sang juru bakar terlihat baik-baik saja ada dekat sekali dengan pembakaran.

                                                                   bade atau kereta untuk mengangkat jenazah

Kalau lihat dari dekat, bisa melihat tubuh jenazah yang sudah ada di dalam api. Ngeri memang, makanya aku gak berani lihat. Ini foto api dari jarak cukup dekat, ada yang lebih dekat dan lebih jelas, tapi gak berani posting di sini :)

pembakaran

Untuk lebih tahu mengenai proses ngaben itu sendiri, ini saya ambil dari wikipedia.

Ngaben atau upacara kremasi, adalah acara di Bali untuk mengirimkan jenazah pada kehidupan selanjutnya. Jasad orang meninggal akan ditempatkan seolah mereka sedang tidur, dan keluarga akan memperlakukan seolah mereka memang sedang tidur. Tidak ada tangisan, karena jenazah hanya dianggap tidak ada untuk sementara dan akan bereinkarnasi pada kehidupan beirkutnya atau menemukan tempat peristirahatan terakhirnya (bebas dari reinkarnasi dan siklus hidup).

Pada hari upacara, jasad ditempatkan dalam peti, lalu peti dimasukkan ke dalam keranda atau yang disebut sorkofagus dengan struktur candi/temple yang terbuat dari kertas dan kayu, kemudian keranda akan dibawa ke tempat pembakaran. Prosesi membawa keranda ini harus berjalan tidak melalui jalur lurus, untuk membuat bingung roh jahat dan menjauhkannya dari jenazah.

Puncak prosesi ngaben adalah saat pembakaran seluruh struktur termasuk jasad. Api yang membakar itu untuk membebaskan jiwa dari tubuh dan bereinkarnasi.
Prosesi ngaben dapat dilakukan segera atau dalam waktu lama. Pada kasta yang lebih tinggi, upacara ngaben dapat berlangsung selama 3 hari.