Selasa, 14 Mei 2013

Trip to Ijen

Jawa Timur daerah asalku tercinta memang menawarkan sejuta pesona terutama pemandangan pantai dan gunungnya. Pada edisi liburan pulang kampung akhir bulan Maret lalu, aku dan keluarga kakak, tentu dengan keponakan krucils, sudah merencanakan untuk mendaki gunung Ijen.

Buat aku, mbak dan mas iparku, mendaki Ijen bukan kali pertama. Kami sudah pernah ke sana sekitar 10 tahun lalu alias jaman jebot, waktu kawah Ijen belum sepopuler sekarang. Kondisi waktu itu masih memprihatinkan…#lebay ah. Saat itu medan ke Ijen sangat menantang karena jalanan untuk mobil yang rusak parah, mulai dari Wanasari-Sempol,sampai Paltuding. Dulu ke sana dengan mbakku dan teman2  bawa mobil ayah yang mungil dan bener-bener gak cocok buat medan offroad kayak gitu, terus pamitnya bukan pergi ke Ijen lagi. Jadi merasa bersalah kalau inget itu. 
Tapi jaman sudah berubah. Alhamdulillah pemerintah dan mungkin didukung PTPN XII punya kesadaran untuk mengambangkan kawasan Ijen yang potensial untuk wisata, berdasar keterangan dari ayahku yang belum lama pergi ke sana, jalan akses ke Ijen sudah baik. Big Smile :)

Dari rumahku di Jember ke Ijen yang masuk wilayah Bondowoso-Banyuwangi, perjalanan dengan mobil bisa ditempuh sekitar 2 jam sampai titik pendakian Paltuding. Jalur yang diambil dari arah Jember biasanya lewat Bondowoso-Wonosari-Sempol-Paltuding. Papan petunjuk sekarang sudah lengkap, untuk yang baru ke sini pun tidak ada kesulitan. Selepas desa Wonosari kita akan menemui jalanan yang berbelok-belok naik-turun dan cukup sempit karena memang sudah masuk area pegunungan. Tapi syukurlah, sudah halus mulus jauh berbeda dengan dulu, meskipun ada lobang hanya di beberapa titik saja. Di sini kita sudah merasakan udara dingin apalagi bila perjalanan di malam hari.

Peta Kawasan Pegunungan Ijen 

Sekitar jam 8 malam kami baru memasuki wilayah desa Sempol. Setelah melewati medan antah-berantah, rasanya surprise menemukan desa yang cukup padat penduduk di areal yang dikelilingi perkebunan kopi milik PTPN XII ini. Kebanyakan warga desa di sini adalah pegawai perkebunan, rumah-rumah yang kami lalui adalah rumah dinas atau afdeling para pekerja perkebunan. Suasana desa yang tenang, rapi, dan asri sangat terlihat sini. Semua halaman rumah ditanami bunga dan sayuran yang hanya bisa tumbuh di daerah tinggi dan dingin seperti di sini. Sayangnya saat itu sudah malam sehingga gak bisa berfoto2. Foto yang ada di sini aku ambil saat kembali dari Ijen di waktu siang esoknya. Kami berhenti di sebuah masjid yang cukup besar untuk menunaikan sholat magrib dan isyak. Jangan kaget kalau pas wudlu rasanya seperti disiram air es, freezing. Namanya juga di kaki gunung.

Polsek Sempol

Usai sholat dan istirahat sejenak, kami lanjutkan perjalanan ke Paltuding yang sudah gak jauh lagi. Ternyata untuk masuk kawasan ini, kita harus mampir ke 3 pos jaga. Di setiap pos jaga kita harus mengisi buku tamu dan biasanya sih menaruh "uang rokok" untuk penjaganya, tapi tidak ditentukan nilainya...seikhlasnya.

Start pendakian di Paltuding
Sampai di Paltuding sudah hampir jam 10 malah, ternyata di sana sudah ada beberapa mobil yang tiba sebelum kami. Mereka sedang asik ngopi-ngopi dan makan di warung yang kelihatannya buka 24 jam, gak kalah sama indomaret. Di sinilah kami harus memarkir mobil dan memulai aktivitas pendakian. Biasanya orang-orang mendaki mulai jam 2 dini hari, untuk mengejar sunrise (meskipun sunrise tidak terlihat dari kawah) dan terutama menghindari asap belerang beracun yang biasanya muncul jam mulai 8-9 pagi. Aku dan keluarga-pun beristirahat dulu, tidur dalam mobil menunggu waktunya mendaki.

Terbangun jam 2 dini hari, kami tidak langsung melakukan pendakian, karena beberapa orang minta isi bahan bakar dulu alias makan. Rombonganku memang special karena membawa ponakan yg masih berusia 12 dan 9 tahun Rafli dan Abi, sepertinya peserta pendaki paling kecil saat itu. Karena itulah kami perlu persiapan extra terutama untuk menjaga kondisi si kecil. Selesai makan barulah kami mulai hiking bersama rombongan-rombongan lain yang cukup banyak juga. Jumlah yang banyak ini cukup memudahkan kami untuk menempuh jalur pendakian yang gelap dan menghilangkan rasa tegang. Dan kekhawatiran kami takut keponakan kecilku  tidak kuat mendaki ternyata salah! Entah karena semangat atau memang stamina, atau umur yang masih sangat muda mereka justru selalu berjalan di depan, sementara 2 peserta perempuan (aku dan kakakku) ternyata menjadi peserta yang paling banyak minta berhenti karena ngos-ngosan. Salut banget sama Rafli dan Abi, 2 thumbs up!

makan di tepi kawah
Pendakian kami tempuh selama sekitar 1 setengah jam. Akhirnya sampailah di tepi kawah Ijen sebelum jam 4 pagi. Karena matahari belum nampak, gelap dan dingin melanda serta kaki yang sudah gempor, tidak ada pilihan lebih baik daripada tidur. Akhirnya kami gelar jas hujan sebagai alas tidur ramai-ramai. Saat terbangun, semburat fajar sudah Nampak walaupun samar karena posisi arah timur terhalang gunung Licin. Sementara kawah Ijen dengan warna toska diselimuti asap belerang tipis dan pantulan cahaya keemasan membentang luas di depan mata kami yang masih berat untuk dibuka. Sungguh keindahan alam yang menyejukkan hati. Sayangnya kami tidak bisa menangkap foto blue fire dengan jelas karena ada di kejauhan di bawah sana dan terselimuti asap.

The Ijen Crater 
Walau udara dingin masih begitu menusuk, tapi tak sabar kami ingin segera mengabadikan momen2 itu dengan kamera. Tapi ingat itu sudah waktunya sholat subuh, akhirnya dengan bertayamum kami laksankan subuh dulu di atas batuan cadas di bibir kawah Ijen.

the hikers
Kalau saya lihat, hampir 50% pengunjung di sini adalah orang luar, ada bule, Chinese, Jepang, dan entah dari mana, yang jelas tidak berbahasa Indonesia. Ini berarti kawasan Ijen cukup terkenal bukan hanya di domestic. Bahkan kabarnya banyak Ilmuwan yang datang khusus untuk meneliti kawah Ijen yang juga menjadi sumber penghidupan warga para penambang belerang ini. Kalau say abaca artikel-artikel yang di tulis orang luar, mereka lebih banyak menyoroti tentang fakta ilmiah kawah dan kehidupan para penambang yang fenomenal.


Tentang kawah Ijen, kawah ini merupakan puncak gunung Ijen yang berada di ketinggian 2386 mdpl. Menurut satu sumber merupakan kawah terasam di Dunia dengan ph 0.5 dan kawah terbesar di pulau Jawa dengan luas sekitar 5.466 hektar yang berbentuk elips. Kedalaman danau sekitar 200 m dan volume sekitar 36.000.000 m kubik air asam beruap. Keunikan dan keistimewaan Ijen yang tidak dimiliki gunung-gunung lain ini memang pantas membuat kawasan Ijen manjadi popular dan semakin ramai dikunjungi.

Berlatar gunung Raung
Setelah puas berfoto dan menikmati view kawah, kami berkemas untuk turun kembali. Asap belerang juga sudah mulai berhembus dan akan jadi berbahaya bila semakin siang karena akan menebal dan sangat mengganggu pernafasan. Kalau saat naik kaki yang terasa pegal, saat turun lutut yang terasa karena kita harus menahan badan agar tidak terpeleset. Tetapi melewati hutan rindang dan pepohonan rimbun, dilengkapi background gunung raung di kejauhan membuat perjalanan turun ini menjadi menyenangkan. Kami bertemu para penambang belerang yang saat itu sedang libur menambang karena ada larangan yang disebabkan bahaya asap. Sementara tidak menambang, mereka mengandalkan penghasilan alternative dari penjualan pernak-pernik belerang yang dibentuk menjadi patung mini lucu. Kami beli beberapa sekedar buat menyenangkan para pedagang itu.

try the challenge?
Akhirnya sampailah di kaki Ijen, dengan perut lapar kami buka perbekalan yang sudah disiapkan. Alhamdulillah. Memang Allah mencipatakan segala sesuatu dengan tujuan. Gunung yang berdiri tegak ini telah memberi penghidupan bagi ribuan orang yang ada di bawahnya. Perjalanan kami tidak berakhir di sini, kami masih lanjut ke Sempol, salah satu desa di kaki Ijen. Ceritanya saya tulis lagi kalau sempat.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar